Rethink: Value and Means
19.28
reena amalia
,
0 Comments
Masih teringat-ingat salahsatu episode The Apprentice (UK not AS), dimana Sir Alan Sugar, UK comparative nya Donald Trump, mengharuskan para kandidat apprenticenya untuk memilih bahan mentah dari sektor pertanian dan kemudian mereka olah menjadi produk yang laku dijual di pasar tani (Farm Market) setempat.
Tim pertama memilih untuk membuat sup-supan; mulai dari sup sayuran sampai ke venison soup (sup daging rusa). Tim kedua, memilih untuk membuat fruit jam (selai buah2an) dari beberapa varian standar.
Hasilnya tim kedua (fruit jam) menang; modal kecil, proses masak mudah, harga akhir tetap murah tapi profit marginnya cukup tinggi. Dan jangan lupa kalau fruit jam tahan disimpan berminggu-minggu dibandingkan dengan sup, terlebih sup daging. Di akhir harinya tim pertama mengalami kekalahan telak karena produk sup ternyata kurang memiliki peminat (walaupun cukup laku), produk tidak tahan lama, packaging merepotkan, dan harga venison soup terlalu tinggi untuk diserap pasar (dan segmented karena aroma rasanya yang agak keras) -- walaupun dari segi kualitas sebenarnya sup buatan mereka is actually good, menurut advisor Sir Alan yang bertugas mengawasi tim pertama tersebut.
Sir Alan kemudian berujar, kalau yang harus difokuskan oleh kedua tim sebenarnya adalah "to create a value" sehingga bisa mengubah bahan baku yang nilainya rendah, memiliki nilai jual tinggi karena penambahan value (nilai) tersebut.
Buah2an (murah) - Dimasak menjadi selai dengan proses tidak terlalu rumit (low cost) - menjadi selai dengan nilai jual berlipat-lipat kali harga bahan baku - good profit margin.
Terdengar kurang canggih? Lebih bonafide jualan pesawat terbang walau yang beli sebulan satu?
Tim pertama memilih untuk membuat sup-supan; mulai dari sup sayuran sampai ke venison soup (sup daging rusa). Tim kedua, memilih untuk membuat fruit jam (selai buah2an) dari beberapa varian standar.
Hasilnya tim kedua (fruit jam) menang; modal kecil, proses masak mudah, harga akhir tetap murah tapi profit marginnya cukup tinggi. Dan jangan lupa kalau fruit jam tahan disimpan berminggu-minggu dibandingkan dengan sup, terlebih sup daging. Di akhir harinya tim pertama mengalami kekalahan telak karena produk sup ternyata kurang memiliki peminat (walaupun cukup laku), produk tidak tahan lama, packaging merepotkan, dan harga venison soup terlalu tinggi untuk diserap pasar (dan segmented karena aroma rasanya yang agak keras) -- walaupun dari segi kualitas sebenarnya sup buatan mereka is actually good, menurut advisor Sir Alan yang bertugas mengawasi tim pertama tersebut.
Sir Alan kemudian berujar, kalau yang harus difokuskan oleh kedua tim sebenarnya adalah "to create a value" sehingga bisa mengubah bahan baku yang nilainya rendah, memiliki nilai jual tinggi karena penambahan value (nilai) tersebut.
Buah2an (murah) - Dimasak menjadi selai dengan proses tidak terlalu rumit (low cost) - menjadi selai dengan nilai jual berlipat-lipat kali harga bahan baku - good profit margin.
Terdengar kurang canggih? Lebih bonafide jualan pesawat terbang walau yang beli sebulan satu?
Sedikit cerita dari sang pengusaha :
Boss gw di Jakarta dulu, pernah cerita kalau dia waktu Naik Haji bbrp taun lalu satu grup sama seorang... tukang mie ayam! Padahal dia ngambilnya ONH Plus yang pastinya diatas biaya rata-rata paket Naik Haji biasa yang itupun sudah terhitung mahal. Si tukang ayam ternyata adalah pemilik (sekaligus operator) kedai Mie Ayam yang ada di daerah Menteng, tepatnya di sebelah Gereja deket Menteng Prada situ. Jualan cuma dari jam 11 siang sampai jam 3an, nggak perlu pake kemeja + dasi atau punya mobil bagus buat ketemu client disana-sini, tapi hasilnya ternyata kenceng, sampe bikin boss gw yang spesialis IT, pernah kerja di perusahaan2 multinasional, iri.
Atau kisah dari salahsatu boss lainnya yang juga bergerak dibidang IT. Lulusan double master degree dari uni terkenal di AS, koneksi kalangan atas yang kuat-kuat, dukungan modal juga kuat, tapi suatu hari pernah geleng-geleng kepala waktu tau salahsatu koleganya di AS dulu waktu balik ke Indonesia ternyata nggak ngambil posisi prestisius di bidang IT atau Telkom atau jadi manajer di perusahaan multinasional, tapi memilih jadi.... pengusaha es batu. Temennya si boss ini jualan es batu dari restoran ke restoran, besar dan kecil, dan sekarang sudah punya pabrik es batu di Jawa Tengah sana. Omsetnya jauh ngalahin omset perusahaan hi-tech yang boss gw miliki ini. Seberapa mahal sih bahan-baku es batu? Di Hero Supermarket sekalipun, harga "es batu industrial" ini sebungkus besarnya pun sangat murah. Cuma karena ternyata kebutuhan pasar tinggi, jadilah produk murah meriah gampang bikinnya ini bisa diserap pasar dengan sangat-sangat-sangat baik.
Atau kita lihat produk "remeh" semisal sendal jepit... Dijual di warung, nggak dipake di mall-mall, paling banter dipake di kampus buat kuliah, itupun kampus Seni Rupa. Apakah ini berarti pengusaha sendal jepit itu ikutan miskin? Boro-boro... ada yang bisa sampe punya dua pabrik di China, khusus untuk produksi sendal jepit ini. Produk elit? Boro-boro... tapi bisa dibilang kalau sekarang ini tidak ada rumah tanpa sendal jepit. Nggak cuma satu pula. Dan kalaupun hilang saat Jum'atan di mesjid pun orang dengan gampangnya bakalan beli lagi yang baru. Produk yang cukup fluid dan fast moving. Murah pula.
Sewaktu berkunjung ke Trimed beberapa waktu lalu pula, walaupun mereka memproduksi bahan-bahan tekstil setengah jadi untuk nama-nama besar di dunia medis, tapi ternyata "nasi" mereka justru adalah dari produk-produk sederhana yang lebih mudah diserap pasar. Sedangkan support ke nama-nama besar, adalah lebih untuk meningkatkan prestige dan branding. (sumber:enterpreanur)
Atau kisah dari salahsatu boss lainnya yang juga bergerak dibidang IT. Lulusan double master degree dari uni terkenal di AS, koneksi kalangan atas yang kuat-kuat, dukungan modal juga kuat, tapi suatu hari pernah geleng-geleng kepala waktu tau salahsatu koleganya di AS dulu waktu balik ke Indonesia ternyata nggak ngambil posisi prestisius di bidang IT atau Telkom atau jadi manajer di perusahaan multinasional, tapi memilih jadi.... pengusaha es batu. Temennya si boss ini jualan es batu dari restoran ke restoran, besar dan kecil, dan sekarang sudah punya pabrik es batu di Jawa Tengah sana. Omsetnya jauh ngalahin omset perusahaan hi-tech yang boss gw miliki ini. Seberapa mahal sih bahan-baku es batu? Di Hero Supermarket sekalipun, harga "es batu industrial" ini sebungkus besarnya pun sangat murah. Cuma karena ternyata kebutuhan pasar tinggi, jadilah produk murah meriah gampang bikinnya ini bisa diserap pasar dengan sangat-sangat-sangat baik.
Atau kita lihat produk "remeh" semisal sendal jepit... Dijual di warung, nggak dipake di mall-mall, paling banter dipake di kampus buat kuliah, itupun kampus Seni Rupa. Apakah ini berarti pengusaha sendal jepit itu ikutan miskin? Boro-boro... ada yang bisa sampe punya dua pabrik di China, khusus untuk produksi sendal jepit ini. Produk elit? Boro-boro... tapi bisa dibilang kalau sekarang ini tidak ada rumah tanpa sendal jepit. Nggak cuma satu pula. Dan kalaupun hilang saat Jum'atan di mesjid pun orang dengan gampangnya bakalan beli lagi yang baru. Produk yang cukup fluid dan fast moving. Murah pula.
Sewaktu berkunjung ke Trimed beberapa waktu lalu pula, walaupun mereka memproduksi bahan-bahan tekstil setengah jadi untuk nama-nama besar di dunia medis, tapi ternyata "nasi" mereka justru adalah dari produk-produk sederhana yang lebih mudah diserap pasar. Sedangkan support ke nama-nama besar, adalah lebih untuk meningkatkan prestige dan branding. (sumber:enterpreanur)
MENURUT SI MBAH
Kembali ke pesan Sir Alan diawal tulisan, isi pesannya bisa diperkuat dengan pepatah dari salahsatu icon dunia science ini, mbah Albert Einstein:
"A perfection of means, and confusion of aims, seems to be our main problem"
Jangan terlalu fokus ke attribut dari cara, tapi tujuan akhirnya kurang kuat. Tujuan dari bisnis itu adalah untuk mendatangkan profit, maka carilah produk yang bisa mendatangkan duit. Dan ini nggak selalu berarti kerjaan yang high-profile.
Maka kalau setiap hari anda harus berkemeja putih berdasi dan ngantor di Sudirman, tapi gajian selalu telat, tunjangan ini-itu pada dipangkas, sedangkan anda sendiri masih butuh duit... mungkin saatnya bagi anda buat memikirkan ulang, apakah cara yang anda tempuh sudah benar? Produk jualan anda sudah optimal? Ataukah anda terlalu sibuk dengan hal-hal terkait kemasan dan proses, daripada fokus kepada mendapatkan hasil yang terbaik?
KESEIMBANGAN IMAN, ILMU, DAN IKHTIAR
Akhir kata, true, bahwa rejeki itu dari Alloh, dan tiap-tiap manusia sudah ditakar sejak hari ia masih dalam kandungan bundanya. Tapi Rasulullah juga mengajarkan untuk berikhtiar, mencari takdir yang baik, dan menyeimbangkan iman dengan ilmu, karena Ilmu tanpa iman rawan terhadap penyesatan, sedangkan iman tanpa ilmu justru rawan terhadap pembodohan.
Ada peluang bisnis yang sudah lama menarik perhatian, tapi anda khawatir buat melangkah? Gengsi? Mungkin ini saat yang tepat buat mempertimbangkan ulang.
Sebagai penutup, sedikit informasi dari bincang-bincang dengan boss nya salahsatu rekan kerja, yang sama-sama bergerak dibidang pembuatan tas. Mereka sekarang sedang beranjak masuk ke produksi tas untuk kelas menengah kebawah, bukan yang high-brands. Kenapa? Setelah tau besarnya pasar untuk segmen yang satu ini.
Mau tau omset penjualan tas saja di Cibaduyut - Bandung?
IDR 3.000.000.000, alias tiga milyard rupiah...
"A perfection of means, and confusion of aims, seems to be our main problem"
Jangan terlalu fokus ke attribut dari cara, tapi tujuan akhirnya kurang kuat. Tujuan dari bisnis itu adalah untuk mendatangkan profit, maka carilah produk yang bisa mendatangkan duit. Dan ini nggak selalu berarti kerjaan yang high-profile.
Maka kalau setiap hari anda harus berkemeja putih berdasi dan ngantor di Sudirman, tapi gajian selalu telat, tunjangan ini-itu pada dipangkas, sedangkan anda sendiri masih butuh duit... mungkin saatnya bagi anda buat memikirkan ulang, apakah cara yang anda tempuh sudah benar? Produk jualan anda sudah optimal? Ataukah anda terlalu sibuk dengan hal-hal terkait kemasan dan proses, daripada fokus kepada mendapatkan hasil yang terbaik?
KESEIMBANGAN IMAN, ILMU, DAN IKHTIAR
Akhir kata, true, bahwa rejeki itu dari Alloh, dan tiap-tiap manusia sudah ditakar sejak hari ia masih dalam kandungan bundanya. Tapi Rasulullah juga mengajarkan untuk berikhtiar, mencari takdir yang baik, dan menyeimbangkan iman dengan ilmu, karena Ilmu tanpa iman rawan terhadap penyesatan, sedangkan iman tanpa ilmu justru rawan terhadap pembodohan.
Ada peluang bisnis yang sudah lama menarik perhatian, tapi anda khawatir buat melangkah? Gengsi? Mungkin ini saat yang tepat buat mempertimbangkan ulang.
Sebagai penutup, sedikit informasi dari bincang-bincang dengan boss nya salahsatu rekan kerja, yang sama-sama bergerak dibidang pembuatan tas. Mereka sekarang sedang beranjak masuk ke produksi tas untuk kelas menengah kebawah, bukan yang high-brands. Kenapa? Setelah tau besarnya pasar untuk segmen yang satu ini.
Mau tau omset penjualan tas saja di Cibaduyut - Bandung?
IDR 3.000.000.000, alias tiga milyard rupiah...
0 Response to "Rethink: Value and Means"
Posting Komentar